Minggu, 20 Juli 2025

Meluruskan Warisan Mbah Malik: Suara Hati Bani Ilyas dari Banyumas

Habib Lutfi Bin Yahya Bukan Penerus Tarekat Mbah Abdul Malik bin Ilyas, baik Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah maupun Tarekat Sadziliyah.

Meluruskan Warisan Mbah Malik: Suara Hati Bani Ilyas dari Banyumas

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Saudara-saudara kami sebangsa dan setanah air yang kami muliakan,
Dengan segala hormat dan tanggung jawab moral di hadapan Allah Subḥānahu wa Taʿālā, kami merasa perlu untuk meluruskan berbagai narasi yang saat ini beredar, khususnya yang dibangun oleh sebagian pengikut Habib Luthfi bin Yahya, terkait kedekatan beliau dengan al-Maghfurlah Kiai Haji Abdul Malik bin Ilyas—atau yang lebih dikenal sebagai Mbah Malik—serta seputar peristiwa wafat beliau.

Kami menyampaikan penjelasan ini berdasarkan fakta sejarah yang disampaikan oleh para pelaku langsung dan saksi hidup, bukan rekaan atau tafsir sepihak.

1. Soal Kedekatan dengan Mbah Malik

Mbah Malik adalah sosok yang sangat tawadhuʿ dan selalu memuliakan siapa pun tamunya, tanpa pandang status atau latar belakang. Maka jika ada narasi bahwa Habib Luthfi mendapatkan perlakuan khusus dari beliau, itu semata cerminan akhlak mulia Mbah Malik kepada siapa saja, bukan tanda keistimewaan khusus apalagi pewarisan tarekat.

2. Soal Kepemimpinan Pondok Kedung Paruk

Pernyataan yang beredar di media sosial bahwa Pondok Pesantren Kedung Paruk diserahkan kepada Habib Luthfi adalah tidak benar. Sebab, jauh sebelum wafatnya, Mbah Malik secara langsung menunjuk cucu beliau, al-Maghfurlah K.H. Abdul Qadir, sebagai penerus kepemimpinan pondok sekaligus pembawa amanah kemursyidan Naqsyabandiyah Khalidiyah. Bukan Habib Luthfi.

3. Soal Klaim Mursyid dan Baiat

Klaim bahwa Habib Luthfi menerima baiat kemursyidan dari Mbah Malik adalah tanpa dasar dan bukti sahih. Tidak ada satu pun dokumen, saksi, atau catatan resmi yang menunjukkan bahwa Mbah Malik pernah membaiat Habib Luthfi sebagai mursyid, baik dalam Tarekat Naqsyabandiyah Kholidiyah maupun Syadziliyah. Apalagi diketahui Mbah Malik sepanjang hidupnya adalah pengamal Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah, bukan Syadziliyah.

Lebih aneh lagi, setelah wafatnya K.H. Abdul Qadir, Habib Luthfi membaiat adik dari K.H. Abdul Qadir, yaitu almarhum K.H. Said, sebagai mursyid. Kemudian, setelah K.H. Said wafat, beliau kembali membaiat adik lainnya, K.H. Muhammad. Dari mana dasar hak kemursyidan itu datang kepada beliau, Habib Lutfi ?

4. Soal Wafatnya Mbah Malik

Narasi bahwa saat wafat, Mbah Malik hanya ingin ditemani Habib Luthfi adalah keliru. Faktanya, Habib Luthfi tidak hadir pada saat Mbah Malik wafat. Yang mendampingi beliau saat menghadap Allah adalah cucu-cucu kesayangan beliau: Ibu Nyai Fauziah, K.H. Abdul Qadir beserta istri.

Sementara putri beliau, Ibu Nyai Khairiyah, saat itu sedang menemani ibunda Mbah Malik yang juga sakit di ruangan sebelah. Semua keluarga besar dan murid-murid berada di luar kamar, menyaksikan dengan haru wafatnya beliau dalam keadaan husnul khātimah.

5. Soal Khalwat dan Kedekatan

Narasi bahwa selama 40 hari menjelang wafat Mbah Malik melakukan khalwat bersama Habib Luthfi juga tidak sesuai kenyataan. Berdasarkan kesaksian keluarga, Habib Luthfi tidak pernah berdiam di Kedung Paruk dalam jangka waktu panjang sebagaimana seorang santri, melainkan hanya singgah sesekali.

6. Soal Pewarisan dan Nasab

Yang menyedihkan, ada upaya untuk merubah silsilah leluhur Mbah Malik—yang jelas merupakan keturunan Pangeran Diponegoro—menjadi nasab Baʿalawi (Bin Yahya). Hal ini tentu menyinggung martabat keluarga dan para santri beliau. Jika benar beliau adalah murid, maka mestinya menampilkan adab dan kejujuran dalam menjaga warisan gurunya, bukan memanipulasinya demi kepentingan pribadi atau politik tarekat.

Padahal, bila jalur tarekat ingin dilanjutkan secara sah, masih ada jalur ke Sokaraja, melalui keluarga dekat Mbah Ilyas, atau bahkan melalui jalur almarhum K.H. Abdussalam yang kini diteruskan oleh Gus Thariq.

7. Soal Haul dan Klarifikasi

Perlu dicatat pula, bahwa Habib Luthfi sangat jarang menghadiri haul Mbah Malik. Bahkan dalam dua tahun terakhir—terutama setelah informasi ini terungkap pada 30 September 2024 lalu haul Mbah Malik terakhir—beliau tidak hadir. Sebab keluarga besar Bani Ilyas menanti klarifikasi langsung dari beliau, terutama atas klaim-klaim kemursyidan dan perubahan silsilah itu.

8. Penutup

Saudara-saudaraku,
Meluruskan sejarah bukanlah tindakan benci atau permusuhan. Tapi bentuk tanggung jawab terhadap kebenaran dan kelangsungan warisan spiritual bangsa. Jangan sampai anak cucu kita kelak tumbuh dalam kebingungan, menganggap penjilat dan kaki tangan penjajah sebagai pejuang, dan mengira pemalsuan sejarah sebagai kebenaran.

Kami tidak berniat membuat kegaduhan. Tapi bila kebenaran dibungkam dan kebohongan terus disebarkan, maka kewajiban kitalah untuk bersuara.

Demi Allah, apa yang kami sampaikan ini adalah kesaksian dan kenyataan yang disaksikan banyak orang. Para saksi masih hidup. Fakta-fakta masih bisa diverifikasi. Semoga Allah menunjukkan yang benar sebagai kebenaran dan memberi kita kekuatan untuk mengikutinya.

وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Sabtu, 03 Mei 2025

RAJAH KALA CAKRA dan CARAKA WALIKKALA CAKRA



Rajah Kalacakra dalam pewayangan bermula dari penulisan mantram sakti di dada Batara Kala oleh Batara Wisnu yang menitis sebagai dalang Kandhabuwana. Dibuatnya Rajah Kalacakra bertujuan agar siapa pun yang membacanya atau mengucapkan mantram tersebut tidak akan menjadi korban gangguan Batara Kala, pembawa sengkala. Kejadian buruk dalam kehidupan manusia dipercayai terkait dengan karma, baik dari masa lalu, perbuatan sekarang, kondisi kelahiran, atau karma orang lain. Ilmu Kalacakra digunakan untuk menangkal dan mengatasi hal tersebut.

Filosofi Ilmu Kalacakra adalah kekuatan gaib yang merubah keburukan menjadi kebaikan. Ini adalah doa kepada Yang Maha Kuasa untuk mengubah kondisi buruk menjadi baik selama hidup dalam kekuasaan waktu (Sang Kala). Mantra Kalacakra, seperti:

"Yamaraja - Jaramaya, Yamarani - Niramaya, Yasilapa - Palasiya, Yamiroda - Daromiya, Yamidosa - Sadomiya, Yadayuda - Dayudaya, Yasiyaca - Cayasiya, Yasihama - Mahasiya,"

merupakan upaya membalik keadaan, menundukkan, bukan menyerang balik. Ilmu ini menjadi perisai pagaran gaib, melindungi dari gangguan mahluk halus, dan memberikan perlindungan dari keburukan dalam kehidupan.

Ilmu Kalacakra, dengan latar belakang keilmuan India dan agama Hindu atau Buddha, dianut oleh kalangan resi. Ini bukan untuk menyerang, tetapi menundukkan dengan cinta kasih. Rajah Kalacakra banyak digunakan dalam ruwatan tradisi Jawa, membaca mantranya untuk melindungi dari ilmu gaib, mengusir mahluk halus, dan mengubah keburukan menjadi kebaikan.

Meskipun ilmu Kalacakra banyak diajarkan di dalam negeri, kebanyakan bersifat ilmu gaib dan khodam. Mantranya hanya berfungsi jika seseorang menerima khodam ilmunya. Kegunaannya meliputi menangkal serangan ilmu gaib, menjauhkan dari mahluk halus, dan mengubah niat jahat menjadi baik.

Ilmu Kalacakra juga terkait dengan keilmuan kebatinan kejawen, dengan orang-orang yang memahaminya memiliki kegaiban yang melibatkan kekuatan sukma. Pagaran gaib dapat dibuat dengan kekuatan sukma atau dengan bantuan benda gaib berkhodam. Wirid amalan Kalacakra perlu dilakukan untuk mempertahankan kekuatan gaibnya.

Dalam mewirid amalan Kalacakra, sensitivitas rasa diperlukan untuk menyesuaikan jumlah wirid sesuai dengan kebutuhan. Pengguna dapat menambah kekuatan pagar gaib dengan mewiridkan amalan lagi. Keseluruhan, ilmu Kalacakra mengajarkan filosofi kebaikan, kesetiaan pada prinsip-prinsip moral, dan penggunaan kekuatan gaib dengan penuh kesadaran.

Kalacakra dalam pewayangan berasal dari penulisan mantram sakti di dada Batara Kala oleh Batara Wisnu yang menyamar sebagai dalang Kandhabuwana. Rajah Kalacakra diciptakan untuk melindungi mereka yang bisa membacanya, memberikan perlindungan dari gangguan Batara Kala, pembawa sengkala.

Kehidupan manusia, selain dipengaruhi oleh nasib dan takdir, juga terkait erat dengan karma. Ilmu Kalacakra diyakini mampu mengubah keburukan menjadi kebaikan dengan mendoakan perubahan kondisi melalui kekuatan gaib Sang Kala atau Sang Hyang Kala.

Filosofi Ilmu Kalacakra berfokus pada mengubah keburukan menjadi kebaikan dan memohon kepada Yang Maha Kuasa untuk memperbaiki kondisi selama manusia berada di bawah kekuasaan waktu. Mantra Kalacakra, seperti "Yamaraja - Jaramaya," memiliki tujuan membalikkan keadaan dan menundukkan, bukan menyerang balik.

Dalam perkembangannya, Ilmu Kalacakra dijadikan mantra untuk melindungi dari kekuatan magis jahat dan memberikan perisai gaib. Namun, di Indonesia, kebanyakan ilmu Kalacakra lebih fokus pada keilmuan gaib dan khodam, sering digunakan sebagai pertahanan dan serangan gaib.

Rapalan mantra Kalacakra, dengan makna yang dibalik, menunjukkan transformasi dari kejahatan menjadi kebaikan. Ilmu ini, berasal dari tradisi kebatinan India, memiliki asal-usul agama Hindu atau Budha, dengan fokus pada pembebasan manusia dari karma jelek.

Meskipun banyak yang mengajarkan Ilmu Kalacakra dengan membaca mantranya, keberhasilannya bergantung pada penerimaan khodam ilmu atau transfer energi. Seringkali, ilmu ini dihubungkan dengan kegaiban amalan, doa, dan sugesti, yang harus dipertahankan agar tetap kuat.

Ilmu Kalacakra digunakan untuk berbagai tujuan, seperti menangkal serangan gaib, menaklukkan makhluk halus, menjauhkan diri dari kejahatan, dan mengubah niat buruk menjadi baik. Meskipun populer, penggunaannya harus sejalan dengan filosofi dasar, yaitu cinta kasih dan kesediaan untuk tidak membalas kejahatan.

Dalam keilmuan kebatinan kejawen, ilmu serupa diajarkan dengan nama yang berbeda. Keselarasan dengan filosofi dasar kebaikan dan rendah hati menjadi kunci dalam mengaktifkan kegaiban sukma yang terkandung dalam diri manusia.

 CARAKA WALIK


Caraka Walik, seringkali diaplikasikan untuk menolak berbagai malapetaka, termasuk teluh, pepasangan, rerajahan, dan sebagainya. Dengan rangkaian aksara Jawa Kuno seperti "nga ta ba ga ma," dapat diartikan sebagai tolak balak dengan menyiratkan makna:

 

 

NGA "Ngluruk tanpa sesami" = Bersikap rendah hati, melepaskan egoisme pribadi.

THA "Tansah saka niat" = Berawal dari niat yang tulus dan baik.

BA "Babar layu kang jumeneng" = Menyesuaikan diri dengan kekuatan alam.

GA "Gunggung mami nuwun" = Belajar pada nurani dan kebijaksanaan guru sejati.

MA "Mantep tumindak karo Gusti" = Yakin dan mantap dalam mengikuti kehendak Ilahi.

NYA "Nyumurupi dewe kudu ngerti" = Memahami kodrat kehidupan tanpa tergantung pada pandangan fisik.

YA "Yakti marang titah kang Dumadi" = Yakin pada petunjuk dan kehendak Ilahi.

JA "Jaluk dadi Gusti" = Selalu berusaha menyatu dengan kehendak Ilahi.

DHA "Dhuwur wekasane tumindak" = Yakin pada ketetapan dan kodrat Illahi.

PA "Papan kang tanpa kiblat" = Mengakui keberadaan Tuhan yang melibatkan segala arah.

LA "Lir handaya nyantos jati" = Mengalirkan hidup sesuai petunjuk Ilahi.

WA "Wujud tanpa batas ilmune" = Ilmu manusia terbatas, namun implikasinya dapat melampaui batas.

SA "Sifat kasih handulunipun" = Membentuk kasih sayang seperti kasih Tuhan.

TA "Tatas, tutus, titis, titi, lan wibawa" = Menentukan visi, totalitas, satu pandangan hidup, dan ketelitian.

DA "Dumadi mring dzat kang ora winangenan" = Menerima hidup apa adanya dari Yang Maha Tunggal.

KA "Karsa memayu hayuning bawono" = Hasrat diarahkan untuk keselarasan alam.

RA "Rasa cinta sejati muncul saka cinta nurani" = Cinta sejati muncul dari cinta kasih nurani.

CA "Cipta wening, cipta mandulu, cipta dadi siji" = Menentukan arah dan tujuan pada Yang Maha Esa.

NA "Nur candra, gaib candra, warsitaning candara" = Harapan manusia selalu pada sinar Ilahi.

HA "Hana hurip wening suci" = Adanya hidup adalah kehendak yang Maha Suci.

Caraka Walik atau caraka sungsang, dengan filosofi aksara Jawa Kuno, digunakan sebagai upaya untuk menghadapi dan membalikkan berbagai malapetaka dalam kehidupan.

Caraka Walik, sering digunakan sebagai upaya untuk menolak berbagai malapetaka, seperti teluh, pepasangan, rerajahan, dan sebagainya. Melalui rangkaian aksara Jawa Kuno, mantra ini diyakini dapat membentuk perlindungan yang kuat. Misalnya, "Nga ta ba ga ma" menyiratkan harapan agar tidak ada kematian, "Nya ya ja da pa" menunjukkan aspirasi untuk menghindari kesaktian, "La wa sa ta da" diartikan sebagai usaha untuk mencegah peperangan, dan "Ka ra ca na ha" berarti tidak ada utusan yang membawa malapetaka.

Makna dari Caraka Walik pun mencerminkan nilai-nilai spiritual dan filosofis. Sebagai contoh, "Tha – Tukul saka niat" merujuk pada pentingnya memulai sesuatu dengan niat yang baik, sementara "Ma – Madep mantep manembah mring Ilahi" menekankan kebutuhan untuk yakin dan mantap dalam menyembah Yang Ilahi. Selain itu, "Ya – Yakin marang samubarang tumindak kang dumadi" menunjukkan keyakinan atas kehendak Ilahi, dan seterusnya.

Caraka Walik juga bisa dipahami sebagai panduan hidup. Dalam hal ini, "Ta – Tatas, tutus, titis, titi lan wibawa" menyiratkan perlunya hidup dengan visi yang jelas dan ketelitian dalam pandangan terhadap kehidupan. Begitu pula dengan "Da – Dumadining dzat kang tanpa winangenan" yang mengajarkan untuk menerima hidup apa adanya.

Dalam bahasa Jawa, Hanacaraka disajikan sebagai "ada ucapan, ada kata-kata," sedangkan Datasawala diartikan sebagai "saling perselisihan," dan Padajayanya menunjukkan "adanya adu kekuatan yang sama jayanya." Sebaliknya, memahami makna aksara ini dalam konteks Caraka Walik dapat membantu masyarakat menjauhkan diri dari konflik dan kekerasan.

Jumat, 02 Mei 2025

PENDIDIKAN: JANTUNG PERADABAN BANGSA*

_[Tulisan sederhana dalam memaknai Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), 2 Mei 2025]_

Oleh: *Abdur Rahman El Syarif*

Di bawah langit yang pernah dijajah, di antara tanah-tanah yang terinjak oleh sepatu kekuasaan, pendidikan lahir bukan sekadar dari bangku dan papan tulis. Ia lahir dari nyala api yang dijaga diam-diam oleh guru-guru bangsa, dari hati yang merdeka sebelum negeri ini mengeja kata “kemerdekaan.” Pendidikan bukanlah sekadar pengajaran, ia adalah pembebasan. Bukan sekadar angka-angka di rapor, tetapi cahaya yang menyinari arah sebuah peradaban.

Ki Hadjar Dewantara, dengan pena dan jiwa yang merdeka, pernah berkata: “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.” Dari semboyan itu, kita tidak hanya belajar kepemimpinan, tapi tentang keberanian untuk memanusiakan manusia melalui ilmu, laku, dan teladan. Pendidikan adalah jalan sunyi yang menghindarkan bangsa dari jurang feodalisme, dari perangkap hedonisme, dan dari racun korupsi yang melumpuhkan akal sehat.

Lihatlah peradaban-peradaban besar dunia, seperti Yunani, Andalusia, Baghdad, Sriwijaya, Majapahit, semuanya berdiri di atas fondasi ilmu. Tapi begitu ilmu tak lagi dimuliakan, dan kekuasaan lebih memilih gemerlap istana daripada cahaya kitab, maka tumbanglah mereka dalam lembar sejarah.

Pendidikan bukan milik mereka yang mampu bayar, tapi hak suci setiap anak bangsa. Ia bukan ladang bisnis, tapi ladang harapan. Bukan alat untuk melanggengkan status sosial, tapi tangga untuk semua yang ingin naik derajat.

Kini, di tengah dunia yang penuh hiruk-pikuk digital, suara pendidikan kadang kalah oleh gemuruh konten instan dan budaya instan. Tapi sejarah mengajarkan kita: bangsa yang ingin berdiri tegak di hadapan dunia, harus mulai dari sekolah yang jujur, guru yang dimuliakan, dan anak-anak yang dicintai ilmunya. Tanpa itu, kita hanya mengecat dinding peradaban yang keropos di dalam.

Hari ini, mari kita rayakan bukan dengan seremoni kosong, tapi dengan niat tulus memperbaiki. Mari kita kembalikan pendidikan pada hakikatnya: sebagai jantung yang memompa darah ke seluruh nadi bangsa. Agar Indonesia bukan sekadar merdeka secara geografis, tapi benar-benar merdeka dalam berpikir, bersikap, dan bermartabat.

*Selamat Hari Pendidikan Nasional 2025*
Mari belajar, bukan hanya untuk tahu, tetapi untuk tumbuh dan membebaskan.

#hardiknas2025
#jantungperadaban
#SatuSehatSemuaSehat
#KonsiKesehatanIndonesia
#PersemkiHebat


https://www.facebook.com/share/p/16FMCgKfAj/

Senin, 21 April 2025

Hari Kartini 2025

*Kartono Dan Kartini*

Kartono, bernama lengkap Raden 
Mas Panji Sosrokartono tak pernah memandang warna kulit, warna rambut, jenis kelamin, suku, bahasa, keturunan, kebudayaan, dan bahkan agama. Kartono melintas batas semua yang ada. 

Ditengah-tengah beramal bagi sesama, Kartono selalu menebarkan kedamaian, ketenangan, cinta 
dan kasih, antar sesama. 

Siapa Kartono itu? Kartono adalah seorang wartawan perang, penerjemah, guru, serta kakak, dan inspirator RA. Kartini. Selamat hari Kartini. 
https://youtube.com/shorts/u5vd6_G4QZE?si=gAcmJX-F40NU0zw-

*PEREMPUAN, RAHMAT BAGI NEGERI*
_(Hari Kartini 2025; Habis Gelap Terbitlah Terang. Puisi untuk Kemuliaan Perempuan dan Keberkahan Bangsa)_


Dalam sunyi malam, di antara sajadah doa,
terdengar bisik cahaya:
“Perempuan adalah pelita yang tak padam,
jika disiram cinta, dihormati zaman.”

Wahai engkau yang berselendang ilmu,
yang tangannya melahirkan bangsa,
dalam sujudmu tersembunyi rahasia,
kemerdekaan tak lahir tanpa rahim yang mulia.

Kartini, bukan hanya nama,
tapi maqam sufi dalam jiwa yang membara.
Dari gelapnya penjara budaya,
ia tembus langit, menulis terang bagi nusantara.

Perempuan bukan sekadar madrasah pertama,
ia adalah tasbih yang berdzikirkan kasih,
adalah mi’raj cinta menuju Tuhan,
adalah penjaga adab dan penjaga iman.

Wahai negeri, muliakan ia bukan karena lemah,
tapi karena dari hatinya mengalir barakah.
Dari matanya mengalir sungai damai,
dari sabarnya dibangun rumah-rumah langit yang teduh.

Tiada bangsa besar tanpa perempuan yang dimuliakan,
tiada negara kuat tanpa ibu yang didoakan.
Habis gelap, terbitlah terang
sebab perempuan adalah fajar yang tak henti menyinari jalan yang panjang.

Selamat Hari Kartini 2025
Untuk seluruh perempuan tangguh, perempuan pejuang, perempuan pembawa terang, engkau adalah rahmat bagi negeri.

#HabisGelapTerbitlahTerang
#Kartini2025
#SatuSehatSemuaSehat


https://www.facebook.com/share/p/18ZyfYLkFZ/